sebelumnya thanks pada kulonread yang sudah translate
Chapter 1: “Shadow”
Chatroom (hari libur – malam hari)
《Makanya kubilang: tim terkuat di Ikebukuro sekarang adalah “Dollars”! 》
[Aku belum pernah melihat langsung orang-orang Dollars, tapi aku sering dengar rumor tentang mereka]
《Itu karena mereka bergerak diam-diam! Tapi semua orang membicarakan mereka di internet, tahu? 》
【Hoo, kayaknya Kanra bener-bener tahu segala hal di Ikebukuro, ya.】
《Nggak juga, sih! 》
《Ah, hey hey hey… Ada yang tahu tentang Black Bike?》
【Black Bike? 】
[Oh-]
《Orang yang bikin gara-gara di sekitar Shinjuku dan Ikebukuro baru-baru ini. Bahkan ada liputan tentang itu kemarin. 》
♂♀
★ Tokyo • Distrik Bunkyo, di suatu tempat (hari biasa – larut malam)
“Kau… monsteeeeeer!”
Seorang pria berteriak marah, ia mengangkat pipa besi di tangannya—dan berlari dengan kecepatan penuh.
Pemuda itu berlari melintasi jajaran mobil yang diparkir sambil
menggenggam pipa besi, yang mulai hangat karena suhu tubuhnya, di tangan
kanannya. Tapi karena berkeringat, genggaman tangannya sedikit
mengendur.
Tak ada seorangpun di sana, hanya beberapa mobil yang sedang menungu pemiliknya.
Tempat itu sepi, hanya terdengar suara langkah pemuda itu, suara nafas dan detak jantung bergema di telinganya.
Terjebak di antara koridor beton yang tebal, penjahat kecil itu berteriak,
“…S…sialan! Sial! Sial! A…ak..aku pasti akan dibunuh! Brengsek!”
Meskipun kemarahan berkobar di mata pemuda itu, tapi kata-kata yang meluncur dari mulutnya dipenuhi ketakutan.
Sampai detik ini, tato yang terpatri di lehernya selalu jadi simbol
teror bagi lawannya. Sekarang dalam ketakutannya, tato itu sudah hilang
bentuk. Di atas tato yang ia patri itu—sebuah jejak hitam terbentuk
bersamaan dengan suara langkah kaki boot yang bergema.
♂♀
《Sebenarnya, rumor itu sudah lama ada. Dulu sampai sekarang—sudah
banyak orang mengambil gambarnya dengan kamera foto, dan langsung jadi
hit!》
「Oh, aku tahu dia. Tapi dia nggak masuk hitungan urban legend atau
sesuatu yang aneh, kan? Itu cuma geng motor biasa…Ah, tapi, kayaknya
orang-orang nggak lagi ngumpul untuk bakar karet lagi.」
《Tapi dia mengendara tanpa lampu, itu ‘kan aneh!》
《Aneh kalau dia manusia.》
【Aku nggak ngerti maksudmu.】
《Ah, yah… gamblangnya, dia itu monster!》
♂♀
Dengan suara yang mengerikan, tubuh penjahat itu terlempar di udara membentuk busur.
Pria itu terbanting keras ke latar dengan sisi tubuhnya duluan dan,
meski kepalanya terbanting, dengan panik ia merangkak kabur. Meski udara
di sekitarnya dingin menggigit, seluruh tubuhnya terasa kebas, tidak
merasakan dinginnya lantai beton. Seperti orang yang lari dari mimpi
buruk, pria itu menengok ke belakang, dan menemukan sumber kengeriannya
sedang berjalan di belakangnya.
Yang berdiri di sana adalah bayangan—sesuai dengan istilah itu, tak salah lagi itu adalah ‘bayangan’.
Bayangan itu mengenakan pakaian pembalap berwarna hitam, tak ada
emblem ataupun gambar yang berarti, memberi kesan pakaian hitam yang
dicelup ke dalam tinta yang lebih pekat. Jika bukan karena cahaya yang
merembes dari tempat parkiran, pemuda itu mungkin tidak akan menyadari
ada seseorang di sana.
Bagian yang paling membingungkan dari semua itu adalah helem aneh
yang dikenakannya. Kontras dengan warna hitam pekat di bawahnya, bentuk
helem dan polanya menyatu dengan artistik. Meski begitu, tetap tidak
bertentangan dengan baju hitam si pengendara.
Kaca depan helem itu berwarna hitam kelam, seperti warna pada kaca
jendela mobil bagian bawah: satu-satunya yang terlihat hanyalah lengkung
kilatan bayangan dari lampo neon, tak ada rupa apapun di dalamnya.
“…”
Satu-satunya yang disampaikan oleh bayangan itu hanyalah keheningan,
hampir seperti tidak hidup. Wajah pria muda itu terpilin lebih jauh,
rasa takut dan kebencian mendominasi wajahnya.
“A…aku….aku…tidak ingat sudah mengganggu Terminaror!”
Normalnya, ini mungkin jadi guyonan, tapi saat ini, lelaki muda itu sedang tidak bercanda.
“Ng….ng…ngomong dong! Kau ini siapa? Kau ini
apa?!”
Bagi lelaki muda itu, keberadaan si bayangan memang sesuatu yang
tidak bisa ia pahami. Mereka hanya melakukan rutinitas biasa mereka,
bertemu di tempat parkir bawah tanah, melakukan ‘pekerjaan’ biasa lalu
bubar. Pekerjaannya selalu sama, mengirimkan ‘barang’ kepada klien lalu
pergi mengambil ‘barang’ baru. Hanya itu, sama seperti biasa. Apa yang
salah? Kesalahan apa yang mereka lakukan sampai memanggil monster
semacam ini—?
Pria itu dan ‘kolega’nya berencana untuk melakukan hal biasa malam ini.
Tapi—rutinitas biasa mereka tiba-tiba hancur, tanpa peringatan.
Saat mereka sedang menunggu kolega mereka yang terlambat di luar
pintu masuk parkiran, mahkluk itu sekonyong-konyong muncul. Sepeda motor
itu lewat tanpa suara dan berhenti beberapa meter jauhnya dari mereka.
Ketika pria itu dan teman-temannya melihat ‘orang’ yang lewat itu, mereka menyadari beberapa kejanggalan.
Pertama—sepeda motor itu benar-benar tidak bersuara ketika lewat.
Mungkin ada sedikit suara ban bergesek, tapi mereka sama sekali tidak
mendengar suara mesin seperti yang seharusnya ada. Tentu saja ada
kemungkinan si pengendara melewati pintu parkir setelah mematikan mesin;
tapi bahkan meski begitu, seharusnya terdengar suara motor sebelum
mesin dimatikan. Tapi tak ada yang mendengarnya.
Yang lebih aneh adalah baik kendaraan maupun pengendaranya semua
berwarna hitam kelam. Bukan hanya mesin dan tangkai giginya—bahkan pelek
rodanyapun berwarna hitam. Tidak ada sinar lampu. Bahkan di tempat
seharusnya plat nomor berada, hanya menggantung logam hitam. Semua orang
hanya mengandalkan lampu jalan dan sinar bulan untuk memastikan bahwa
bayangan itu adalah sepeda motor.
Tapi—yang lebih janggal dari semuanya adalah tangan kanan si
pengendara yang berwarna hitam yang sedang membawa benda yang sangat
besar. Hampir sebesar si pengendara, dan cairan pekat menetes tanpa
henti dari ujungnya, menetes ke aspal.
“Koji…?”
Salah satu teman dari pemuda itu menyadari apa sebenarnya benda besar
itu. Lalu, si pengendara melompat ke sepeda motornya dan melaju, dan
melempar benda…bukan, ‘dia’ ke jalan.
Dia adalah orang yang mereka tunggu, ‘kolega’ yang terlambat.
Wajahnya membengkak lebam, dan darah meleleh dari hidung dan mulutnya.
“Brengsek…”
“Siapa kau?”
Meski semua orang disergap perasaan aneh yang tidak bisa digambarkan,
tak seorangpun merasa takut saat itu. Pada saat yang sama, tak
seorangpun merasa marah karena rekan mereka Kouji dihajar. Karena
orang-orang ini hanya teman satu pekerjaan, dan tak seorangpun punya
hubungan yang lebih dekat dari itu.
“Kenapa, kenapa? Apa yang kau mau?”
Yang memakai parka, wajahnya kelihatan sedikit lebih pintar dari yang
lain, melangkah mendekati sepeda motor. Cuma ada satu musuh, dan mereka
berlima. Menang jumlah membuat pemuda itu percaya diri. Tapi ketika ia
menghampiri sepeda motor itu, keadaan jadi berubah satu lawan satu. Dan
satu-satunya yang menyadari hal itu hanyalah bayangan hitam yang duduk
di atas sepeda motor.
“…”
Kroak.
Suara yang mengerikan. Sebuah suara yang sangat, sangat
menggelisahkan mengambang di udara. Suara itu membuat perasaan gelisah
yang melebihi kegelisahan biasa, memicu alarm ‘bahaya’ pada naluri semua
orang.
Di saat yang sama, si cowok parka jatuh berlutut. Jatuh dengan wajah membentur aspal lebih dulu.
“Whaa…?”
Seperti pada umumnya, orang-orang itu bersiaga dan melihat ke
sekitar, mengamati lingkungan di sekitar mereka dengan tegang. Tapi
mereka hanya menemukan bahwa satu-satunya lawan mereka hanyalah
pengendara di depan mereka, tak ada orang lain di situ. Dan lagi—si
‘bayangan’ yang duduk di atas sepeda motor pelan-pelan menurunkan sepatu
bootnya kembali ke tanah.
Mereka melihat gerakan itu. Karena mahkluk itu menginjakkan kaki
kembali ke tanah, berarti tadinya kaki itu melayang. Selain itu, mereka
melihat hal yang lain.
Di bawah sepatu boot itu terdapat kacamata si cowok parka.
Dari informasi itu, dengan cepat mereka menyimpulkan apa yang terjadi.
—Bahwa selagi menunggang motor, ‘bayangan’ itu melayangkan tendangan, yang melumpuhkan si cowok parka dalam sekali serang.
Jika mereka melihat wajah si cowok parka, mereka akan tahu bahwa
hidungnya patah. Yang berarti, si ‘bayangan’, selagi menunggang motor,
mengambil jarak yang dibutuhkan untuk menendang cowok parka sampai
melayang, menggunakan lekuk sol sepatunya untuk memerangkap dan
meremukkan hidungnya.
Tapi karena mereka berdiri di sisi yang lain, mereka tidak tahu hal
itu. Sebagian dari mereka hanya berpikir bahwa itu aneh—kenapa dia jatuh
ke depan padahal ditendang?; sementara sisanya sama sekali tidak
berpikir, hanya mengambil tongkat polisi dan stun gun dari pinggang
mereka.
“Tadi itu… apa yang terjadi? Eh, hah? Maksudku… kok dia bisa melakukan itu…?”
Tanpa menghiraukan pemuda yang bingung itu, dua rekannya berlari marah menuju si pengendara.
“Ah, hey…”
Tepat ketika pemuda itu mau mengatakan sesuatu, dia melihat si
‘bayangan’ menyelinap turun dari motornya. Bersamaan dengan hancurnya
kacamata di bawah kakinya, ia melangkah ke depan dengan cepat dan ringan
tanpa membuat gerakan atau suara yang berarti. Gerakannya benar-benar
elegan, memberi kesan sebuah ‘bayangan’ yang mengambil bentuk manusia.
Apa yang terjadi selanjutnya terukir dalam di benak si penjahat,
seperti melihat adegan slow motion. Mungkin adegan semacam ini terlalu
abnormal, atau mungkin naluri akan bahaya yang akan datang membuat
konsentrasinya meloncat ke depan.
Salah satu kawannya menyorongkan stun gun pada si ‘bayangan’.
—Huh, bisakah listrik menembus jaket kulit?
Tepat ketika ia mempertimbangkan pertanyaan itu, ia melihat seluruh
tubuh si ‘bayangan’ limbung. Sepertinya memang menyalurkan listrik.
Semuanya sudah selesai.
Mulai tenang, ia menekan stun gunnya lagi, tapi detik berikutnya, kegelisahan mengguncangnya.
Tubuh bayangan itu bergetar hebat, ia meraih pergelangan tangan
lelaki yang memegang tongkat polisi di samping si pemegang setrum.
“Argh!”
Tidak seperti si ‘bayangan’, yang berguncang selagi disetrum, lelaki
dengan pentungan ini hanya melonjak keras satu kali dan jatuh terbanting
di latar, seolah memantul.
“Bajingan…”
Si lelaki setrum menyadari bahwa tangan si ‘bayangan’ sekarang
bergerak ke arahnya, dan buru-buru mematikan stun gun di tangannya.
Tapi, situasi tidak membaik, dan tangan si ‘bayangan’ mengunci lehernya.
Mesipun ia meronta dengan tangan dan kakinya, si ‘bayangan’ tidak
mengendurkan cengkeramannya. Bahkan meski ia mendaratkan tendangan keras
pada kaki ataupun tubuh si ‘bayangan’, satu-satunya reaksi di balik
helem itu hanyalah kebisuan dan kegelapan.
“Kuh… Gah…”
Si cowok stun gun tergantung dalam posisi itu sampai bola matanya terbalik dan ia pingsan ke tanah seperti si cowok pentungan.
—Brengsek, aku nggak ngerti apa yang terjadi, tapi brengsek. Aku
bahkan belum bergerak seinchipun dan jika Koji tidak dihitung, dua dari
kami berenam sudah dilumpuhkan. Bukan karena keadaannya yang menyedihkan
ini atau apa, kejanggalan mahkluk di depannyalah yang menumbuhkan benih
ketakutan di dalam hati penjahat kecil itu.
“Jadi dia bisa bertarung dengan tangan kosong?”
Tidak seperti si penjahat kecil itu, orang di sebelah kanannya bergumam tenang pada dirinya sendiri.
“Ga-san.”
Mendengar ia bergumam, penjahat itu memanggil kawannya, ia
menggantungkan harapan pada kepercayaan diri dalam nada suara kawannya
itu. Lebih tepat disebut ‘leader’ daripada ‘kolega’, orang bernama
Ga-san mengamati si ‘bayangan’ tanpa bergerak sedikitpun. Tak ada
kepanikan di matanya, tapi ia juga bukannya tenang.
Ga-san mengeluarkan pisau besar dari balik jaketnya dan berjalan ke
arah bayangan. Kemudian, sambil tetap waspada, ia berkata pada
‘bayangan’,
“Aku tak tahu apa keahlianmu, tapi…yah, kau akan mati kalau tertusuk, tahu.”
Ia memutar-mutar pisau di tangannya. Tidak sekecil pisau buah atau
pisau kecil, tapi juga tidak sebesar yang sering muncul di manga.
Gagangnya pas berada di genggaman tangannya, dan mata pisaunya, hampir
sepanjang gagangnya, berkilat dingin.
“Lagipula, meski sudah mengalahkan satu dua orang, tangan kosong saja tidak akan….Huuuh?”
Olokan itu dipotong oleh gerakan ‘bayangan’.
Si ‘bayangan’ menunduk sedikit dan mengambil dua benda yang ada di
depan Ga-san. Benda itu adalah—tongkat polisi dan stun gun milik
penjahat sebelumnya.
“…”
“…”
Stun gun di tangan kanannya, tongkat polisi di kirinya. Bentuk yang tidak lazim untuk nitou-ryuu
[1].
Parkiran mobil, yang awalnya begitu tenang itu jadi menyeramkan, dalam sekejap tenggelam dalam kesunyian.
Yang menghancurkan keheningan itu adalah gumaman dari si leader:
“Eh… Kau bercanda, itu? Aneh sekali, ya? Bukannya kau menggunakan tangan kosong?”
Dari kata-katanya sendiri, kelihatannya hanya olok-olokan, tapi
kegelisahan dalam suaranya terdengar begitu jelas. ‘Kami seharusnya
mengeroyok dia berempat.’ Meski dia berpikir begitu, ia tidak mau
terlihat konyol dengan mundur.
Penjahat yang menonton di belakang tidak bergerak selangkahpun dari
tempatnya berdiri. Jika lawan mereka adalah anak geng atau polisi, dia
akan bergabung tanpa pikir panjang. Tidak, mereka berempat akan langsung
terjun sejak awal.
Tapi—‘sesuatu’ yang berdiri di sana jelas terlalu ajaib. Karena
itulah, mereka tidak bereaksi sebagaimana biasa mereka lakukan. Apa yang
berdiri di depan mereka sudah pasti hanyalah manusia yang memakai
pakaian pembalap. Tapi aura yang meluap keluar terlalu ganjil, membuat
perasaan penjahat itu tidak enak, seolah ia berada di dunia lain.
Mungkin si leader itu menyadari ketidaknyamanan kawan penjahat di
belakangnya, atau mungkin juga tidak. Ia menggeram lewat sela giginya.
“Itu curang! Aku sendiri cuma bawa pisau! Rupanya kau takut, hah?”
Sambil tetap diam menghadapi protesnya yang tidak masuk akal, si ‘bayangan’ menegakkan wajahnya pada si ‘leader’.
Kemudian—detik berikutnya, ‘itu’ mengubah bentuk jadi bentuk yang nyata tepat di depan mata si penjahat.
♂♀
《Yang mengendarai Black Bike itu bukan manusia. 》
【Terus apa?】
[Cuma berandalan.]
《Dota-chin bilang mungkin Shinigami.》
【Dota-chin? 】
《Sebenarnya sih, aku sudah pernah lihat sendiri. Black Bike itu mengejar seseorang 》
【Siapa itu Dota-chin?】
[Kau telpon polisi tidak?]
《Gimana ya menggambarkannya? Yah, rasanya nggak normal bawa-bawa kayak gituan. 》
【…Kau mengacuhkanku? Siapa Dota-chin?! 】
《Pertamanya aku tidak mengerti, tapi lalu aku tahu, itu keluar dari dalam tubuhnya—》
【…】
【? 】
【Kanra-san? Kenapa?】
[Kayaknya sambungannya putus.]
【Eeh?! Yaaaah, padahal dia baru cerita setengahnya! Apa yang keluar dari tubuhnya?】
【Dan siapa itu Dota-chin—-?!】
♂♀
“…?”
‘Bayangan’ itu membuat gerakan aneh di depan para penjahat dan pemimpinnya.
Dengan hati-hati ia menaruh stun gun itu ke tempat duduk sepeda motornya.
—Jadi dua senjata terlalu merepotkan?
Itulah yang dipikirkan si penjahat, tapi saat berikutnya, si ‘bayangan’ menggenggam tongkat polisi dengan dua tangan—
Dan membengkokkannya seolah itu terbuat dari plastisin.
“Whoa…!”
Bisa diduga, keterkejutan mewarnai wajah mereka, untuk sesaat
ekspresi mereka terlihat sama. Trik apa yang digunakannya untuk
membengkokkan tongkat polisi? Bentuk fisik si ‘bayangan’ bertipe
ramping, jadi mereka pikir tidak mungkin dia bisa mengeluarkan kekuatan
super semacam itu.
Apapun kemungkinannya, ‘bayangan’ itu akhirnya membuang senjata yang
ia pegang—hal itu membuat para penjahat itu tambah gelisah, pelan-pelan
mengelupas kenyataan di hadapan mereka.
Menghadapi si ‘bayangan’, yang sekali lagi tidak bersenjata, si
penjahat mengambil pipa besi yang tersandar di pagar. Menangkap gerakan
itu lewat ekor matanya, si leader sekali lagi mengangkat pisaunya.
Keringat menetes melewati pipi mereka. Hanya perasaan tidak nyaman inilah yang mengikat mereka dengan realita di depan mereka.
“Apa-apaan… mau menakuti kami?”
Kata-kata itu meloncat begitu saja ketika si leader melirik pada
tongkat polisi yang bengkok itu—saat bulir keringatnya menetes ke sela
bibir, ia menelannya begitu saja. Adapun si penjahat, ia tidak berani
melihat ke yang lain, dan hanya memegang erat pipa besinya, terengah.
Nafasnya mulai cepat dan cepat, kemudian ia menyadari bahwa kaki,
punggung dan giginya gemetaran. Sepertinya pertunjukan tadi sudah
berhasil ‘menakuti’ mereka.
Seolah ingin melihat lebih dekat ekspresi takut mereka, ‘bayangan’ itu berjalan mendekat tanpa suara.
“Jadi pada akhirnya kau tetap memilih tangan kosong. Kau berani, kuakui itu.”
Tidak seperti si penjahat yang ketakutan, si leader sepertinya sudah
menguatkan diri untuk menghadapi apapun yang mungkin terjadi. Matanya
berkilat, ia menggenggam erat pisau di tangannya dan mendekat pada si
‘bayangan’.
Jarak di antara mereka tinggal tiga meter lagi. Dua langkah lagi dan ‘dia’ akan masuk jangkauan pisau.
—Ga-san adalah tipe orang yang melakukan sesuatu jika saatnya sudah tepat.
Menyadari hal itu, si penjahat mengikuti di belakang leadernya dengan pipa besi di tangan, siap mendukung.
Si pengguna pisau mengambil langkah lagi, dan rasa permusuhannya
telah berubah jelas menjadi keinginan membunuh. Karena si penjahat tahu
bahwa Ga-san adalah tipe orang yang sanggup menusuk lawan dengan segala
keinginan membunuh, si penjahat mau mendukung tanpa cemas. Tak ada
sedikitpun keengganan membunuh dalam dirinya, dan lagi, lawannya adalah
‘bayangan’, jadi bisa dibilang ia tidak membunuh seseorang.
Melihat kemungkinan menang dalam keinginan membunuh kawannya, si penjahat mempererat genggaman pada pipa besinya.
Tapi detik berikutnya—kemungkinan menang maupun keinginan membunuh mereka hilang entah kemana.
Tepat ketika mereka berpikir ‘bayangan’ itu cuma sekedar menyentuh punggungnya,
sebagian tubuh hitamnya meluap keluar.
Rasanya seolah asap hitam yang menyembur keluar dari ‘bayangan’
bergerak dengan keinginannya sendiri. Dalam telapak tangan ‘bayangan’
yang tertutup sarung tangan hitam, asap hitam itu menggeliat seperti
ular.
Seperti kuas yang dicelupkan ke dalam tinta, ‘aliran’ hitam itu
membuat bentuk hidup yang gaib. Dalam sekejap, gerakannya menjadi
stabil—membentuk bayangan hitam pekat.
Mata mereka melotot, dua orang yang berdiri di dekat lampu jalan dan
parkiran mobil akhirnya sadar bahwa lawan mereka bukanlah manusia.
Benar-benar bukan manusia.
Begitu asap hitam itu berpisah dari tubuh ‘bayangan’, semacam uap
hitam melingkupi tubuhnya. Terlihat seolah pakaian yang dikenakannya
larut di udara—semua kecuali helemnya yang nampak buram di bawat
penerangan lampu jalan.
Dengan situasi yang sudah berkembang terlalu jauh dari realita yang
mereka tahu, dua orang penjahat bergegas pergi. Melarikan diri bukan
lagi pilihan, tubuh mereka sudah mengambil alih kendali, dengan penuh
keyakinan menjalankan rencana awal. Dengan ekspresi ngeri, si leader
yang membawa pisau menarik kembali pisau yang ia arahkan ke ‘bayangan’.
Sedetik kemudian, pisau itu melayang, menuju perut ‘bayangan’, tapi—
Sebelum pisau itu mencapai ‘bayangan’, tangannya dipukul dengan
keras. Meski ia tidak sampai menjatuhkan pisaunya, ia kehilangan
keseimbangan, memperlihatkan celah besar.
“?!”
Asap hitam, tajam yang melempar pisau itu sedikit terlihat dalam keremangan.
‘Itu’ benar-benar hitam kelam. Lebih hitam daripada kegelapan mana
pun. Menghisap seluruh cahaya dan bergerak seolah hidup. Benda yang
tercipta dari gelombang hitam itu bukanlah benda yang cocok dengan latar
jalanan Jepang modern.
Tapi dengan si pengendara ‘bayangan’ yang memegang, kelihatan
bercampur serasi dengan lingkungan sekitarnya dalam cara yang sangat
ganjil dan aneh.
Benda yang muncul di tangan ‘bayangan’ berwarna lebih gelap dari
kegelapan malam, siapapun yang melihat dalam sekejap mengkaitkannya
dengan ‘kematian’.
—benda itu tingginya hampir menyamai si ‘bayangan’—sebuah sabit besar bermata dua.
♂♀
—Kanra-san has entered the chatroom–
《Sambunganku tadi putus. Omong-omong, koneksi internetku lagi jelek akhir-akhir ini. Aku off, mau tidur saja. 》
[Gud Niiiite]
【Cerita selanjutnya gimana? Siapa itu Dota-chin…】
《Tunggu aja besok. Hehehe, tapi aku akan memberitahumu satu hal. 》
♂♀
Lalu—penjahat itu dikejar sampai ke sudut.
Tak ada tempat lain untuk kabur dalam tempat parkir.
Dia tidak tahu apa yang terjadi pada leader mereka. Dia benar-benar
berani sampai cukup peduli pada hal semacam itu sementara ia sudah
menyaksikan hal yang tidak nyata. Tapi, dia belum melihat sabit raksasa
itu. Gagasan bahwa kejadian barusan hanyalah ilusi sempat melintas di
benaknya, tapi ia menyadari bahwa apapun kesimpulannya, tidak akan
mengubah kenyataan yang terjadi sekarang, dan dengan segera ia menghapus
pikirannya.
Tendangan yang kuat mendarat di lehernya. Sepertinya ada suara retak,
tapi tak ada yang salah dengan tulang belakangnya. Tapi—rasa sakit yang
amat sangat menyerang pundaknya, pangkal lehernya berdenyut menyakitkan
seolah semua rasa sakit berkumpul di sana.
Namun, sekarang ini, itu hanyalah hal sepele bagi si penjahat.
“Um, um, tunggu dulu, ku… kumohon… tolong t-t-t-tungu d-dulu.”
Yang keluar dari mulutnya adalah bahasa sopan yang menyedihkan dari anjing pecundang.
Sekarang ini, ia mengerti situasi yang dihadapinya. Tepatnya, ia
merasa putus asa, seperti seseorang yang masih dalam mimpi, tapi rasa
takut memaksanya untuk sadar.
Tapi—ia masih tidak mengerti. Siapa ‘bayangan’ ini, atau mengapa ia harus menghadapi masalah macam ini.
Kemungkinan tertingginya adalah bahwa ini berhubungan dengan
‘pekerjaan’. Memang, ada resiko dalam pekerjaannya, dan ada pula
kemungkinan punya musuh. Meski demikia, ‘musuh’ itu adalah polisi atau
gangster, atau mereka adalah
target ‘kerja’ mereka: imigran ilegal atau anak yang lari dari rumah.
Ia sudah siap dengan segala kemungkinan itu, dan sudah menyelesaikan
tugasnya sambil berhati-hati dan menghindari menarik masalah. Tapi,
‘bayangan’ dalam setelan hitam di depannya adalah sesuatu yang tidak
pernah ia bayangkan, dan dia benar-benar tidak tahu bagaimana
menghadapinya. Taktik terbaik yang terlintas, yaitu melarikan diri,
telah hilang. Dan sekarang penjahat itu sudah terkepung di empat sisi.
Sekarang opsi bagi si penjahat berkurang jadi dua pilihan, mati
terhormat atau menyerah. Tapi mustahil memutuskan mana yang harus
dipilih jika motif lawan masih menjadi msiteri. Karena tak ada bedanya
tindakan manapun yang ia pilih, ia membuat suara yang paling merayu dan
seteguh mungkin. Jika ia tidak bisa bicara, ia tahu kemungkinan besar
karena ia sudah dikuasai oleh rasa takut.
“Tunggu… kau mencari orang yang salah, aku nggak akan melakukan apapun, tolong, tolong maafkan aku, maafkan aku, maafkan.”
Seluruh tubuh penjahat itu bergetar ngeri, seolah seorang yakuza tiba-tiba menodongkan senjata ke arahnya.
Melihat sikap si penjahat berbalik, si ‘bayangan’ hanya berdiri di
sana, diam seperti biasa. Ia melihat ke sekitar, nampak mencari
sesuatu—lalu tiba-tiba berbalik memunggungi si penjahat dan berjalan ke
arah wagon di dalam tempat parkiran.
Jenis kendaraan macam ini biasa terlihat di sekitar Stasiun Ikebukuro
malam hari, dan dengan kaca hitam yang dipasang sampai jendela kursi
belakang, sulit melihat apa yang ada di dalam.
‘Bayangan’ itu nampaknya bisa melihat melewati kaca hitam itu, melangkah terus mendekati wagon dengan penuh keyakinan
—Ah?—— Eh?! Sial!
Itu adalah mobil yang digunakan si penjahat selama ‘bekerja’.
Meskipun ia masih tidak tahu apa yang diinginkan lawannya, sudah jelas
si ‘bayangan’ mengincar mereka. Di atas semuanya, meski ada banyak
mobil, ia berjalan lurus ke arah mobil mereka tanpa ragu sedikitpun?
—Oi, tunggu dulu, bahaya, ini jelas bahaya!
Tindakan ‘bayangan’ yang sudah bisa dibaca itu mengirim kejutan
ringan di punggung di penjahat. Sampai saat ini, ia dipenuhi oleh teror
si ‘bayangan, tapi di dalam dirinya sekarang mencuat ketakutan yang sama
sekali berbeda.
—Aaaaahhh, aaahhhh, ahhhhhhhh, tunggu dulu tunggu dulu tunggu tunggu
tunggu! Jika… Jika apa yang ada di dalam wagon diketahui, kami bisa
habis. Oi, bahaya, serius nih, apa yang harus kulakukan? Sial sial sial
sal sial sial sial—Apa? Apa yang ingin dia lakukan!?
Dua ketakutan berperang dalam otak penjahat itu.
Yang satu adalah ketakutan akan ketidaknyataan di depannya, yang lain adalah teror dari kenyataan yang terlalu nyata.
—kalo sampai yang di dalam wagon itu diketahui, polisi gak ada apa-apanya dibanding disiksa dan dibunuh!
Membayangkan mayatnya dikubur di hutan dalam Gunung Fuji, lutut penjahat itu gemetar lebih keras.
—Sesuatu, pikir sesuatu, apa yang bisa membunuh si masked rider ini—
Mengatasi ketakutannya akan ‘bayangan’ secara tidak langsung,
penjahat itu memeras otak untuk mencari jalan keluar dari situasi ini.
Dan, yang tercermin di matanya—adalah mobilnya sendiri yang ia kendarai untuk bertemu di tempat parkir.
‘Bayangan’ berhenti dalam diam sepuluh meter dari wagon incarannya.
Suara lembut pintu mobil yang dibuka dan ditutup terdengar dari
belakang. Tepat ketika ia menyadarinya dan menoleh, raungan mesin yang
kuat bergaung di tempat parkir itu.
“…”
‘Bayangan’ itu, sudah berbalik sepenuhnya, melihat mobil merah tua
melaju ke arahnya. Mobil dikebut lebih cepat dari kemampuannya, tidak
memberi ‘bayangan’ waktu untuk sembunyi di balik pilar.
Setelah ragu sejenak, si ‘bayangan’ berlari ke arah berlawanan dari wagon.
Ia bermaksud untuk masuk ke dalam mobil lalu meluncur keluar di saat
terakhir, tapi si penjahat, yang konsentrasinya dikuasai oleh rasa
takut, menangkap gerakan itu. Begitu si ‘bayangan’ membungkuk sedikit,
penjahat itu telah memutar setirnya.
Satu dentaman.
Dan si ‘bayangan’ terlempar ke udara.
Lalu ‘bayangan’ itu terbanting keras ke atas beton.
“WOooooOOO! Kena! Ke—na! rasakan itu, rasakan itu, rasakan itu brengsek!”
Merasa gembira dengan hasilnya, ia menurunkan kecepatan mobilnya.
Tanpa menunggu mobil itu benar-benar berhenti, ia meloncat keluar dan
berlari untuk memberikan pukulan akhir dengan pipa besinya, tapi—
“?!”
Agak jauh dari ‘bayangan’ yang terbaring di atas beton, di depannya terdapat benda hitam tergeletak.
Dilihat dari desainnya yang unik, tak diragukan lagi itu adalah helem full-face yang dikenakan di ‘bayangan’ tadi.
Tapi yang membuat penjahat itu kaget bukanlah helemnya—tapi tubuh si ‘bayangan’ yang seharusnya memakai helem.
“Kepala..nya…”
Tempat di atas badannya di mana seharusnya kepalanya berada nampak kosong.
—aku memenggalnya?! Tidak jangan bercanda itu tadi cuma pembelaan diri tapi tidak kenapa? Tunggu, tahan dulu
Diserang berulang-ulang oleh skenario yang aneh. Kekacauan dalam otaknya sudah mencapai puncak.
Karena itulah, ia tidak menyadari.
Bahwa tak ada setetespun darah mengalir dari tubuh yang seharusnya terpenggal.
♂♀
《Orang yang mengendarai Black Bike—tidak punya kepala.》
♂♀
Penjahat itu beringsut ke arah tubuh yang tanpa kepala itu tanpa takut-takut—
tanpa peringatan sebelumnya, ‘bayangan’ tanpa kepala melompat.
♂♀
《Dia bisa gerak meski tanpa kepala. 》
《Nah, selamat malam~》
—Kanra has left the chatroom—
♂♀
“Wooaaaaaahhhh?!”
Menghadapi hal tak terduga itu, hal pertama yang dirasakannya bukanlah takut, melainkan takjub.
Trik sulap? Kostum? Robot?
Pemenang lomba kostum? Hologram?
Mimpi? Ilusi? Halusinasi? Tipuan?
Bermacam kata sederhana yang muncul di pikirannya menghilang bagaikan gelembung sebelum sempat ia pertimbangkan.
Mungkin yang seharusnya dikagumi penjahat itu bahwa ada orang yang
tak terluka meski sudah ditabrak mobil, tapi ia tidak sedang dalam
kondisi yang membuatnya menyadari itu.
Lalu—seperti sebelumnya, kabut hitam mulai mengalir dari punggung si
‘bayangan’ dan dengan cepat berubah bentuk menjadi sabit raksasa.
Ketika kekaguman mulai berubah jadi ketakutan, mulut penjahat itu menganga mengeluarkan raungan putus asa.
Ketika ia mulai menjerit, penjahat itu merasakan sesuatu yang tajam menggores lehernya—
Dan dunia yang dikenalnya diliputi kegelapan.
♂♀
PM mode 【Um, Setton-san, ada yang ingin kupastikan. 】
- PM: private message. These kinds of messages can’t be viewed by anyone besides the recipient.
PM mode [Oke-doki.]
PM mode [Apa itu? Sesuatu yang tidak boleh dilihat yang lain?]
PM mode 【Kanra-san mengatakan hal-hal yang agak bodoh, ya? 】
PM mode [Memangnya sebodoh itu?]
PM mode 【Nah, nggak seburuk itu XD dan lagi, aku datang ke chatroom ini karena undangan Kanra-san. 】
PM mode [Aku juga. Kanra-san kadang terbawa suasana, tapi kau juga tidak bisa sungguh membencinya.]
PM mode 【Dan dia tahu banyak hal yang kita tidak tahu. 】
PM mode [Hanya kita tidak tahu seberapa jauh kebenarannya. Ah, tapi biar kuberi satu nasihat.]
PM mode [Aku tahu kita membicarakan Black Biker yang berkeliaran di kota, tapi]
PM mode [Kupikir lebih baik kita tidak terlibat dengannya~]
PM mode [Oke deh, malem~]
—Setton has left the chatroom—
PM mode 【Eh】
PM mode 【Huh, dia pergi. Selamat malam~】
PM mode 【Ah terserah.】
—Tanaka Tarou has left the chatroom—
♂♀
Pengendara tanpa kepala mengambil helemnya dan meletakkannya di atas
lehernya yang kehitaman. Sebuah bayangan kecil mengalir dari daerah
kerah, meresap ke dalam helem dan bergabung dengannya
Ia memutar kakinya seolah tak ada apapun yang terjadi, pengendara tanpa kepala berjalan dalam diam ke arah wagon.
Di pintu masuk parkiran—si pengendara tanpa kepala diam-diam
meninggalkan tempat itu, sudah menyelesaikan tugasnya. Beberapa
laki-laki masih tergeletak di jalan, jadi sepertinya tak ada orang yang
melewati tempat itu. Atau kemungkinannya orang yang lewat berpura-pura
tidak melihat apapun.
Sepeda motor hitam yang terparkir di kegelapan mendengungkan
mesinnya, seolah menyambut kembali pemiliknya. Mesinnya, yang tak
bersuara meski kendaraan itu sedang berjalan, meraung sendiri meski
kunci kontaknya tidak terpasang.
Melihat itu, si pengendara tanpa kepala membelai tangki bensin,
seolah mengagumi kuda yang ia sayangi. Sepeda motor itu juga tampak
puas, memelankan suara mesin, dan pengendara tanpa kepala menunggangi
jok.
Kemudian, mesin hitam tanpa lampu itu membawa pergi penunggangnya.
Di bawah langit tak berbintang.
Tanpa suara, seakan larut dalam kegelapan—